PANDANGAN TENTANG ISLAM MAYORITAS DI INDONESIA
Tulisan saya ini tujuannya untuk mendiskusikan pandangan masyarakat tentang sebagian alasan mengapa Indonesia sebagai negara mayoritas tetapi konsep ajaran Islam tidak diterapkan dalam tata hukum dan konsep negara. Pernyataan di bawah ini adalah garis besar realita yang dilihat terutama di Jawa.
Indonesia adalah negara mayoritas muslim tercatat pada tahun 2010. Populasinya sebesar presentase 87% dari jumlah total penduduk Indonesia. Dilihat dari besaran tersebut terdapat indikator bahwa Islam berjaya di negara yang jauh dari tempat kelahiran Islam. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kerajaan Islam yang berkembang di Indonesia. Kerajaan tersebut merupakan pondasi sebuah kekuatan yang kelak menjadi prioritas dalam pembentukan asas negara. Jumlah di atas tidak menjadikan negara ini sebagai negara yang berhukum Islam. Berbagai pertentangan tentang asas negara dilatarbelakangi adanya keberagaman suku, ethnis dan agama. Berlandaskan asas demokrasi, maka Islam tidak menjadi superioritas. Semua unsur perbedaan menjadikannya satu dalam bangsa dan negara Indonesia. Negara yang menunjung tinggi hak beragama, bernegara dan berpolitik.
Mengenai masuknya Islam di Nusantara ada tiga teori yaitu teori Gujarat, Arab dan Persia. Mereka berdagang sekaligus mengenalkan Islam kepada pedagang lainnya. Dari merekalah Indonesia mengenal Islam dengan cara damai tanpa peperangan. Proses penyebaran Islam berlangsung selama abad ke-7 sampai abad ke-13 Masehi melewati beberapa cara dengan damai, yaitu melalui perdagangan, perkawinan, dakwah, pendidikan, seni budaya dan tasawuf. Sebelum sampai abad ke- 14, pada abad ke-8 Masehi telah berdiri kerajaan islam pertama yang berdiri di Pulau Sumatera bernama Perlak.
Di Jawa Kerajaan Islam pertama adalah Kerajaan Demak yang bersultan pertama adalah Raden Fatah (1500). Disebabkan faktor internal Kerajaan Majapahit, kekuasaan yang terus lemah dan hancur sepeninggalan hayam Wuruk dan Gajah Mada. Adanya pemerintahan Raden Patah kemajuan tidak hanya dalam bidang maritim tetapi juga dalam bidang pertanian. Jawa yang memiliki tanah subur menghasilkan bahan pangan terutama makanan pokok yang diperjualbelikan dalam pasaran internasional. Tidak lupa pula Kerajaan Demak mendirikan Masjid Demak sebagai pusat kegiatan ajaran Islam di Jawa dengan para pemukanya yaitu Walisongo.
Fenomena masyarakat Indonesia mayoritas memeluk Islam tidak lepas dari beberapa faktor kondisi masyarakat Indonesia. Pemeluk Islam tidak hanya golongan waisya yang mana merekalah interaksi pertama karena adanya perdagangan dengan orang Arab, Persia dan Gujarat. Pada strata bawah yaitu kasta sudra, mereka tertarik memeluk islam karena di dalam Islam semua makhluk itu sama kedudukannya di mata Tuhan yang membedakan hanyalah tingkat ketaatan pada aturan agama. Sedangkan bagi golongan bangsawan kerajaan Hindhu-Budha merasa dirugikan dengan adanya konsep strata sosial tersebut dan sebagai gantinya kerajaan terkuatlah yang bertahan di tanah ini.
Pada masyarakat Jawa kebudayaan masih mendarah daging. Ritual magis masih sangat kuat pengaruhnya dalam kehidupan sosial. Kepercayaan Animisme dan Dinamisme mengajarkan untuk mempercayai adanya kekuatan dalam ruh dan beda-benda alam di sekitarnya. Kepercayaan pada tanda-tanda alam adalah respon dari kekuatan alam yang murka sehingga mereka melakukan upacara pengorbanan untuk alam berupa hewan, hasil panen atau manusia. Konsep ritual magis yang mereka lakukan seperti memberi sesajen pada pohon besar, batu besar dan roh-roh nenek moyang menjadi tradisi yang tidak lepas dari masyarakat Jawa. Ketika agama Hindhu-Budha muncul di Nusantara tidak menjadikannya permasalahan serius karena tidak bertentangan dengan konsep ritual yang sudah ada. Hanya saja media dalam ritual berbeda, yaitu mereka percaya pada Dewa dan Dewi yang mengatur alam semesta. Sedangkan raja adalah titisan Dewa yang ikut dipuja dan tidak bisa ditentang.
Berbeda dengan konsep ajaran Islam, penyembahan hanyalah kepada Tuhan yang satu sebagai penguasa alam semsta dan isinya. Ritual ibadah berbeda dengan konsep kepercayaan sebelumnya. Islam tidak mengenal menyan, sesaji dan kekuatan yang ada di alam selain Tuhan yang satu. Dengan adanya konsep yang sudah melekat tersebut tidak bisa dihilangkan. Kemudian, dengan segala cara ajaran Islam dikenalkan dengan memasukkan konsep islam di dalam ritual-ritual tradisi tersebut. Sehingga menghasilkan akulturasi seperti kenduri, sekaten, nyadran dan lainnya. Pada masa awal mereka yang beragama islam masih berkonsep ritual magis percaya pada tanda-tanda alam hingga kini menjadi tradisi yang bertentangan dengan konsep Tuhan Yang Esa. Tetapi dengan adanya hasil pemikiran dan usaha dari Walisongo tersebut ajaran Islam dapat diterima dan menjadi bagian tradisi. Fenomena tradisi yang sekarang masih ada adalah pagelaran wayang dengan sesajen, sekaten, kenduri dan lain-lain. Disinilah sisi mengenalkan Islam melalui cara persuasif sehingga ajaran-ajaran Walisongo tetap bertahan sebagai bagaian kebudayaan Jawa sedangkan ajaran Islam yang murni hanya sedikit orang yang mengetahuinya.
Di Jawa khususnya Yogyakarta segala bentuk ajaran agama tidaklah dijadikan alasan bagaimana konsep tradisi dikesampingkan. Agama Islam, Khatolik, Kristen, Hindhu, Budha dan lainnya hidup berdampingan dengan sikap tenggang rasa. Bersatu dalam penyelenggaraan acara tradisi. Konsep leluhur menjadi dasar dalam acara yang berhubungan dari kelahiran sampai kematian, misalnya untuk selametan bayi dalam kandungan (mitoni), prosesi pernikahan, prosesi pemakaman, selametan mengenang orang yang meninggal (tahlilan), dll. Inilah salah satu realita dari Indoensia yang tidak bisa menerapkan hukum Islam sebagai hukum negara. Dan segala tradisi yang sebenarnya bertentangan dengan syariah Islam karena pada praktiknya mereka tetap percaya pada hal-hal magis dan leluhur dalam beribadah kepada Tuhan. Sedangkan tuntunan ibadah Islam tidak demikian seperti yang diajarkan oleh Walisongo.
Kebenaran konsep syariah Islam dengan Islam kejawen terkadang membuat masyarakat berdebat. Andai tradisi itu tidak dikaitkan dengan amalan kepada Tuhan tentunya tidak dipandang syirik dan semacamnya. Namun, realita membuktikan bahwa masyrakat Jawa menggunakan tradisi tersebut untuk meminta berkah dari Tuhan dan lebih percaya pada khayalan (takhayul) jika ritual itu tidak dijalankan.
Tata syariah Islam sebagian umat muslim telah mengetahui. Mereka berguru kepada ulama lokal sehingga mendapatkan ajaran Islam yang sesungguhnya dari negeri kelahiran Islam. Kemudian, setelah mereka pulang ke Tanah Air menerangkan pada orang-orang pribumi untuk menjalankan ajaran Islam sesuai dengan syariatnya. Tetapi, tradisi yang telah ada yaitu percampuran ajaran Islam dengan tradisi sakral sudah melekat dan tidak mudah untuk dipisahkan.
Dilatarbelakangi perbedaan pendapat dua pandangan yang kontradiksi masalah ajaran Islam, menjadikan Islam terbagi dalam Islam Abangan dan Islam Putihan. Islam Abangan diidentikkan dengan Islam Kejawen. Mereka beragama Islam dengan menyesuaikan tradisi kejawen sehingga tidak sepenuhnya menjalankan ibadah sesuai syariat Islam bahkan dapat bertentangan. Pandangan hidupnya dipengaruhi oleh ajaran sebelumnya yaitu Animisme, Dinamisme, Hindu dan Budha. Sedangkan, Islam Putihan diidentikan dengan Islam Santri. Mereka disebut Islam Santri karena merupakan pernah atau sedang menjadi santri pondok pesantren, yang mana dikenal lebih taat dalam menjalankan ibadah islam sesuai dengan syariat islam. Ajaran islam yang mereka kerjakan sesuai dengan syariat islam karena para santri diajarkan tata cara ibadah berpedoman pada kitab suci dan pengalaman ulama yang pernah mendapat ilmu di Timur Tengah sehingga tidak ada campur aduk dengan tradisi Jawa. Untuk itu, islam santri atau putihan lebih ditekankan pada golongan orang yang mengerjakan ibadah sesuai tuntunan nabi, sedangkan tradisi lokal dianggap sebagai kebudayaan yang tidak dapat disatupadukan dengan ibadah. Jika pada masa kolonialisme terlihat jelas golongan Islam Abangan dianut oleh masyarakat umum dan lingkungan keraton, sedangkan Islam Putihan dianut oleh kalangan santri. Namun, di era yang lebih modern ini Islam Putihan tidak hanya diidentikkan dengan santri tetapi mereka masyarakat umum dari kalangan manapun yang berpedoman syariat islam tanpa mencampurnya dan enggan mengaitkan dengan tradisi Jawa.
Pada masyarakat abangan keyakinan mereka telah melekat dalam ritual dan aktivitas secara turun-temurun sehingga ketika Islam menjadi agama mereka tidak dapat menghilangkan tradisi yang telah mereka jalanani. Sebagai contoh mereka dalam memenuhi rukun Islam hanya syahadat, zakat dan haji sedangkan sholat dan puasa tidak dipenuhi. Adapula yang menjalankan seluruh rangkaian rukun Islam dalam waktu tetentu saja mislanya sholat hanya ketika sholat Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha. Kemudian, adapula ketika menjalankan ibadah puasa atau disebut tirakat. Ajaran tirakat sebelum islam sudah ada, puasa bertujuan mendapatkan petunjuk atau berkat dari Tuhan dalam meminta harapan. Mereka juga percaya adanya kekuatan ghaib dari jin. Jika manusia dapat berbuat baik dan menghormat kepada jin, maka mereka akan dibantu dan diselamatkan oleh bangsa jin seperti hubungan timbal balik antar makhluk. Untuk itu golongan islam kejawen menyediakan sesaji kepada makhluk ghaib tersebut dan percaya dengan diadakannya slametan atau upacara tradisi adalah bentuk sedekah kepada sesama manusia yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam.
Pada masa kolonial biasanya golongan abangan berada di lingkungan priyayi, abdi dalem, pegawai negeri, petani. Sedangkan di era modern ini golongan abangan biasa disebut islam KTP. Kedudukan Walisongo sebagai penyebar Islam di awa menjadi panutan keislaman mereka. Mereka mendengar cerita para wali dari mulut ke mulut yang berbeda-beda versi sehingga kebenaran dari cerita-cerita diragukan. Namun dalam garis besar terutama Sunan Kalijaga menjadi salah seorang panutan yang menggunakan sarana kesenian sebagai dakwahnya. Ia adalah sosok yang toleran dengan tradisi lokal. Pendiriannya untuk mengajarkan islam secara persuasif dengan memasukkan nilai Islam dalam tradisi Jawa agar mudah dipahami dan lama kelamaan kebiasaan pada tradisi akan mengilang dengan sendirinya. Metode menggunakan seni rupa, gamelan, seni suara dapat dikatakan efektif karena masyarakat mudah menerima dan mengamalkannya. Namun dampak dari ajaran yang sinkretis ini menjadikan pemikiran yang sudah paten, sehingga setelah masa Walisongo berakhir tampak perbedaan golongan abangan dengan golongan santri yang mereka belajar Islam murni dari Al-Kitab. Biasanya mereka yang menjadi golongan putihan tidak ikut dalam acara tradisi dan tidak menyandarkan kepercayaan pada hal-hal berbau mistis dan nenek moyang. Mereka tidak mengadakan dan ikut kenduri, nyadran dan lain sebagainya sekalipun ikut di dalamnya untuk alasan bermasyarakat.
Hubungan antara kedua golongan dapat berlangsung baik di dalam keseharian mereka bersikap toleran. Tidak ada tindakan untuk mengadu domba dan provokasi untuk mempermasalahkan perbedaan tersebut. Hanya saja dalam lingkungan rumah tangga atau bermasyarakat di suatu kampung kegiatan tradisi tersebut tetaplah ada dan berjalan untuk golongan putihan mereka menghormatinya dengan ikut datang dalam acara-acara yang digelar tetapi tetap yakin dalam hatinya bahwa tindakan tersebut untuk bersosialisasi dalam masyarakat tidak untuk keberkatan dan kepercayaan lainnya. Sedangkan, dari golongan abangan beranggapan acara tradisi adalah budaya yang sudah ada sejak dulu secara turun-temurun dan harus dilestarikan seperti yang nenek moyang lakukan jika tidak mereka percaya bencana akan datang.
Di atas tersebut adalah pemaparan dari mana Islam itu datang sampai pada era sekarang ini. Pada masa menjelang kemerdekaan banyak permasalahan yang muncul untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam itu layaknya terjadi dalam masyarakat pluralistik ini. Demikian dengan alasan Islam lebih dominan dibanding agama lainnya, tetapi jika di tinjau kembali sebagian umat Islam di Indonesia adalah penganut Islam sinkretis yang tidak dapat sejalan dengan syariat Islam. Disamping itu penganut agama lain merasa dituntut beragama Islam atau eksistensi mereka tidak dapat diakui di Indonesia jika Indonesia berlandaskan Islam.
Kita hidup di negara multireligion dan multicultural harus menerima kenyataan ini sebagai bagian dari Indonesia yang berbeda tapi tetap satu. Peristiwa penghapuskan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang berbunyi “Kewajiban dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tidak terlupakan bahwa pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan didahului dengan pembacaan Pembukaan UUD 1945 yang berlandaskan Piagam Jakarta. Pada Upacara Kemerdekaan tidak dihadiri tokoh Kristen dalam acara yang sakral itu. Ada dugaan bahwa ketidakhadirannya sebagai penolakan dari isi Piagam Jakarta. Di hari yang sama setelah pembacaan teks proklamasi tiga orang anggota PPKI asal Indonesia Timur dan lainnya yaitu, Dr Sam Ratulangi, Latuharhary, dan I Gusti Ketut Pudja mendatangi asrama mereka dengan ditemani dua orang aktivis menyatakan keberatan isi dari Jakarta Charter. Mereka menganggap hal tersebut seperti tidak adil bagi kalangan non-muslim dan menusuk hati bagi orang-orang Kristiani yang mewakili orang-orang Indonesia Timur. Perdebatan tidak terelakkan dari pihak Islamis ada Ki Bagus hadikusumo yang dengan tegas mempertahankan Jakarta Charter. Kemudian dengan segala bujuk rayu Kasman Singodimejo menengahkan pikiran Ki Bagus Hadikusumo untuk menerima pertimbangan untuk menghapus tujuh kata karena keadaan darurat sehingga belum dapat dikatakan sempurna dan memuat semua pihak. Selanjutnya impian untuk menjadikan negara Islam di bawah NKRI adalah mungkin karena janji Soekarno untuk membicarakan kembali menjadi UUD yang sempurna dalam 6 bulan kedepan di Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Alhasil dalam penetapan UUD di depan MPR tidak dapat diubah menjadi yang diharapkan sebagain umat islam. Karena dalam umat islam sendiri ada yang berfikiran liberal untuk tidak mengaitkan islam dalam dasar negara. Disamping itu dalam masyakarat Indonesia lebih banyak memilik paham Islam KTP atau islam abangan yang berpedoman pada tradisi nenek moyang. Jika negara ini menjadi negara sekular bukanlah masalah bagi mereka, justru akan mengesampingkan masalah perbedaan agama. Bagi masyarakat Jawa mengedepankan hidup damai dalam keberagaman, hal yang paling penting adalah melestarikan tradisi. Tapi jika benar suara hati sebagian besar warga untuk hidup bernegara dengan pemisahan urusan agama dan urusan negara menjadi kerugian pada sebagain umat islam dan menguntungkan pada pihak lain. Keislaman warga Indonesia mungkin akan melemah dan riskan pada pengaruh yang tidak baik untuk mental masyarakat. Demikian kekecewaan sebagian umat Islam dalam penetapan UUD yang tidak dapat dipertimbangkan lebih jauh suara hati yang telah diwakili oleh Ki Bagus Hadikusumo. Adapun yang yang menjadi keputusan hingga saat ini harusnya ditelaah untuk dijadikan koreksi bangsa dan baiknya bagi semua kalangan. Toleransi lebih diutamakan jangan sampai keputusan menjadi perpecahan antar agama, suku dan budaya di Indonesia. Kini bangsa menerima semua putusan demi terwujudnya perdamaian bangsa dan kesatuan bangsa. Dewasa ini sistem Indonesia tidak memungkinkan bersyariah Islam tetapi segala hukum yang berlaku diharapkan tidak bertentangan dengan kaidah ajaran Islam dan selaras seluruh kalangan dan rakyat Indonesia.